Sejarah Kekuasaan Raja Sanjaya

Sanjaya menjadi penguasa Gluh setelah ia mampu memerintah Purbasura dari posisinya sebagai Raja Galluh. Namun masih sulit untuk menentukan tahun kekuasaannya di Glow.

Dalam seri Nusantara dan Kretabhumi yang memerintah, Sanjaya berkuasa pada tahun 645 – 654 Saka. Namun dalam buku Pararatuan Guaduipa yang dimulai dari tahun 645 – 647 ia menjadi penguasa Sunda sementara dalam kemewahannya ia menulis dari 647 – 654 penguasa Sunda dan membesar-besarkannya.

Dalam tesisnya tentang prasyarat untuk membuktikan identitas nasional, Nana Supriatna menyatakan: Kehadiran Sanjaya di Jawa Barat diperoleh dari prasasti Kangal (732 M), dipahami sebagai raja bernama Sanjaya yang mencari tempat ibadah untuk Dewa Siwa di wilayah Walker.

Putri Sana adalah saudara perempuan Sana. Sanjaya adalah pemilik dinasti Sanjaya yang memerintah kerajaan Mataram kuno di Jawa Tengah Utara. Jika mengendalikan dengan otoritas Sunda dan Galuh, ia mengendalikan sebagian besar Pulau Jaya.

Namun, jika isi prasasti tersebut dimuat dengan isi Carita Parahyangan yang menjelaskan kekuatan Sanna di Galuh, Sanjaya adalah raja Galuh yang mendukung Sanna setelah berhasil mengalahkan Rahyang Purbasora yang mengambil alih tahta Raja Sanna.

Dalam sebuah kisah yang diceritakan dalam Parahyangan, Raja Sanjaya juga telah mendapat dukungan atas tanahnya dengan menentang banyak kerajaan – kerajaan kecil: Manunggul, Kahuripan, Kadul, Balitar, Malayu, Kemir, Keling, Barus, dan Cina. Kerajaan-Kerajaan yang diperkirakan terletak di bagian timur Jawa Barat dan bagian barat Jawa Tengah telah menjadi bagian dari Kerajaan Galla.

Ia memenangkan Sanjaya Tarusbawa, sebagai raja Sunda pada 723 M, dan menikahi Teja Kinkana, cucu Tarusbawa.

Pada tahun yang sama, Sanjaya berhasil mendapatkan kembali tahta Galloah dari Purpasura. Hak sebagai penguasa Galloway diperoleh dari Sanaa, nenek moyang diterima. Dengan demikian, Sanjaya di Jawa Barat berhasil menyatukan kembali wilayah Tarumanaraga (Sunda-Gallu). Dia juga tinggal di Pakuan.

Dalam penelitian awal tentang sejarah Jawa Barat, Sanjaya dianggap mampu menaklukkan Indrawarman, raja Sriwijaya, yang berlutut sebagai bagian dari Tarumanagara, sebagai keturunan Linguwarman dari Tarumanagara.

Selain mengendalikan kerajaan Sunda, Galuh dan Medang, Sanjaya memiliki kekuatan yang diakui oleh Prabu Narayana (Iswara) di Kalingga selatan. Kalingja memiliki wilayah yang luas seperti Jawa Timur. Ini dilakukan dengan menaklukkan raja-raja muda sebelum berekspansi ke Sumatra. Padahal, Prabhu Isoara memiliki wilayah timur Brujo Utara.

Jika dilihat dari peta Jawa, Sanjaya memerintah hampir sebagai pulau besar di Jawa yang ia berhak atas gelar sebagai penguasa Pulau Jawa.

Penyatuan Hiperbolik

Setelah merebut tahta yang akhirnya membunuh Purbasora, Sanjaya mengirim uang (patih) untuk menghadapi Danghiyang Guru Sempakwaja, ayah Purbasora di Galunggung.

Saat itu Sembagaaga berusia 103 tahun. Sanjaya meminta Demonuan, putra Simbakwaja, untuk menjadi perwakilan dari ‘piparentaheun’ San Paya yang bertanggung jawab untuk menjalankan pemerintahan di Golo.

Tujuan permintaan Sanjaya adalah untuk menyelesaikan perselisihan antara keturunan Sembakwaga dan Mandinynyak, karena keduanya adalah keturunan Wretikandayun, pendiri Kerajaan Galuh. Penyebab lain dapat ditemukan dalam manuskrip Nusantara III / 1, halaman 158, sebagai berikut:

… Sanjaya menjadi raja Kastil Bakwan di bagian gelap keempat Kaitra pada tahun 645 Saka. Sejak saat itu, Sanjaya telah menjadi raja Sunda dan dibesar-besarkan.

Tetapi kerabatnya tidak senang melihat Sanjaya mendominasi raja-raja di Glowh. Terutama bahwa Resiguru Sempakwaja dan Demunawan setidaknya senang melihat Sanjaya menjadi penguasa di daerah sekitar Galuh dan melihat Galih sebagai bawahan (Mandalika) ke Kerajaan Sunda. (RPMSJB, volume 2, hal. 66)

Sembakwaga prihatin dengan permintaan ini karena itu adalah jebakan bagi Demonawan untuk turun ke pembunuhan.

Alasan lain terkait tekadnya, tidak siap untuk putranya yang diperintah oleh Raja Sunda. Sebelumnya itu adalah Wretikandayun, ayah Sempakwaja berjuang untuk membebaskan Galuh dari Sunda, dengan membuat Demunawan bertindak sebagai piparentaheun di Galuh serta mengulangi kekuatan Sunda di Galuh.

Dari keprihatinan ini, Sempakwaja akhirnya dengan terampil menolak. Sembakwaga menyatakan: Jika Sanjaya ingin dianggap layak atas penilaiannya, ia harus terlebih dahulu mengalahkan (nyandoge) tiga kepribadian Sembakwaga terkemuka, yaitu Bandua Wulan dan Tumanggul.

Ketiganya adalah masing-masing raja di Distrik Kuningan, Raja Cajaron, dan Raja Calangara di Palmoha. Kekuatan yang dimiliki Sanjaya tidak ada artinya jika Sanjaya tidak dapat menduduki raja di Jawa Tengah dan di sekitar Galle.

Jika Sanjaya mampu mendominasi mereka, Risiguro Dimonuan, putra Sembakwa, yang masih Sanjaya, layak mempertahankan Sanjaya. Tetapi jika Sanjaya tidak dapat menaklukkan mereka, Simpajaj akan menentukan penguasa dominasinya.

Menurut penulis Karita Parahangan, Sanjaya tidak dapat mengalahkannya, sebaliknya, Sanjaya dipukuli dan ditindaklanjuti sampai ia kembali ke belati. Sembagaga tampaknya bisa mengukur kemampuan Sanjaya, jadi permintaan itu ditolak seperti yang dia minta.

Peristiwa kekalahan Sanjaya juga terkait dalam teks yang artinya, sebagai berikut:

Oleh Rahiang Sanjaya dikejar, Bendungan Nebi Ka Kuningan. Rahiang Sanjaya sudah pensiun.

Rahiang Sanjaya adalah Dewi Gallo, Sang Wulan, Sang Tomanggal, Diang Ka Ariel.

Sanggeus kitu Rahiang Sanjaya tuluy mulang ka Galuh.

Sanjaya dilaporkan tepat setelah kekalahan dari Danghyang Guru Sempakwaja. Akhirnya, Sanjaya menyerahkan penunjukan gubernur Galloway ke Danyang Guru. Karena alasan ini, Sembakwaga menunjuk Priyamana Dikusuma, cucu Purpasura untuk putranya, putra Pateh Vijyakusuma. Maka Sanjaya menerima proposal itu. Sedangkan putra Sanjaya, Rahyang Tamperan, ditugaskan untuk mengawasi pemerintahan Priyamana Dikusuma.

Song Gallah

Sembawaga, sebagai gubernur Jalongong, bermaksud untuk menyeimbangkan kekuatan Sanjaya di Galle, yang secara resmi dikelola oleh Bermana Dikusuma.

Untuk tujuan ini ia menunjuk Demunawan, putranya sebagai raja Layuwatang, sementara ia meminta Pandawa Guntur [rajaguru] di Layuwatang dan menyerahkan Kuningan kepada Demunawan, saudara iparnya.

Demunawan juga dikenal sebagai Sang Suyukarma atau Rahiyangtang Koko. Sebagai resiguru ia memiliki berbagai wilaha, sehingga pada 723 Demunawan dimahkotai penguasa kerajaan Saung Galah di Kuningan.

Galunggung dan kerajaan kecilnya diciptakan di bawah Saung Galah, di lereng selatan Gunung Ciremai. Sekarang sudah jadi Desa Salia, Desa Sehirang, Distrik Kadu Jidin Kuningan, Waduk Dharma Utara yang penduduknya sudah ramai.

Saat itu, Power District mencakup 13 wilayah, yaitu, Laietang, Kajarun, Kalangjara, Bagroizi, Rahassia, Kahurbanban, Sumagajah, Pasogihan, Padurungan, Darwingdon, Bagirunong, Mooladarma, dan Pattutihang.

Keempat kabupaten tersebut dikepalai oleh seorang guru ziarah, sedangkan kabupaten lainnya dipimpin oleh Puyet Huden, dalam teks Wangsakerta diindikasikan bahwa Kyaing atau Kyajing, Kegid, Sanjaya harus setia pada janji mereka kepada Sembakwaga, dan tidak bertentangan dengan ekspansi wilayah, terutama dengan Deklarasi Song of Gala.

Dengan kekalahannya pada masa Nyandoge, ia harus terus menerima persyaratannya, sampai ia dianggap tidak layak diakui oleh Demunawan.

Nah itulah pembahasan seputar sejarah dari raja sanjaya, ia merupakan pendiri salah satu kerajaan tartua di nusantara.

Jika anda tertarik dengan ulasan sejarah, anda bisa mengunjungi wo toriqa.com untuk mendapatkan beragam informasi lain seputar pelajaran berbagai pengetahuan sejara.

Mungkin cukup dengan tulisan ini, semoga bermanfaat untuk Anda semua, semangat terus belajarnya karena hasil tidak akan menghianati usaha Anda.